Diposkan oleh Najib Fachruddin Thoha
Hujan membasuh Bumi Blambangan sedari sore. Mendung tampak pekat mulai siang hari sampai pada akhirnya benar-benar jatuh mengguyur. Kaca mobil Pak Fathi buram, suara wiper yang menyeka menghasilkan irama tersendiri. Sengaja Pak Fathi tidak memutar lagu apapun dari tape musik mobilnya, ia hanya ingin menikmati perjalanannya sore itu.
"Ayah udah sampai mana? Hujannya awet dari tadi ngak reda-reda". Suara Bu Indy samar-samar bersinggungan dengan suara hujan.
"Baru aja keluar dari kantor Ma, ini Ayah lagi di Bundaran Tugu Pahlawan. Paling setengah jam lagi sampai rumah. Oh iya Ma, ati ampela ayam favorit Ayah udah siap kan? Hehe". Cengengesan Pak Fathi sembari menilik irama wiper mobilnya yang naik turun.
"Udah dong, ini Mama lagi di dapur".
"Wah pantesan aromanya kecium sampai sini, udah keroncongan banget nih perut Ayah hahaha. Yaudah Ma, Ayah mau fokus nyetir. Salam buat Genta sama Wati, bilangin jangan ada yang nyentuh meja makan sebelum Ayah dateng, hehe".
"Tuh Genta lagi fokus nonton TV. Wati juga lagi di kamarnya, kayaknya baru selesai mandi. Yaudah Yah hati-hati." Tut, tut, tut....
Bu Indy teramat sayang kepada Pak Fathi. Dulu mereka menikah lantaran orang tua mereka. Kedua orang tua mereka menjalin pertemanan yang cukup erat. Sampai akhirnya berujung pada perjodohan mereka berdua. Pak Fathi diberi kepercayaan untuk melanjutkan pundi-pundi bisnis dari kedua orang tua mereka.
Dari pernikahan itu lahirlah Wati dan Genta. Wati adalah seorang Mahasiswi Semester Akhir Fakultas Kedokteran salah satu Universitas Negeri ternama. Sementara Genta masih duduk di bangku SD. Lantaran pandemi covid-19, kini Wati tidak sedang berada di luar kota. Perkuliahan dilaksanakan secara daring di rumah masing-masing.
"Assalamu'alaikum, Ayah pulang".
"Waalaikummussalam, ganti baju dulu Yah. Nanti masuk angin. Genta, Wati ayo sini Ayah pulang."
Suasana meja makan malam itu terkesan akrab dan hangat. Wati sibuk berceloteh mengemukakan rencana rumusan skripsi yang akan digarapnya beberapa bulan kedepan. Sementara Genta kusut mengadukan tugas-tugas sekolah yang dikirimkan Pak Guru, dia pelik mengerjakannya.
Perbincangan yang khusyuk itu terpenggal lantaran telepon genggam Pak Fathi berdering.
"Ayah ke ruang depan dulu ya, Pak Eko patner bisnis Ayah nelpon"
Sekonyong-konyong pandangan Pak Fathi kabur ketika hendak beranjak ke ruang tengah. Satu titik hitam perlahan merayap langit-langit retina Pak Fathi. Air ludah Pak Fathi seketika terasa campak, pening sampai ujung ubun-ubun. Pak Fathi kolaps, semaput, kemudian terjungkal.
Bu Indy yang duduk membelakangi ruang tengah tak tahu menahu. Dia terperanjat ketika melihat Wati sempoyongan berlari meninggalkan meja makan.
"Kenapa wati?"
"Ayah ma, Ayah pingsan"
"Astaghfirullah, Ayah"
Genta melonjak dari kursinya mendengar apa yang dikatakan kakaknya. Lebih-lebih Bu Indy, dia begitu panik. Rasa cintanya yang begitu mendalam kepada Pak Fathi. Dunianya terasa terjerembab seketika melihat suaminya tergeletak di ruang tengah dengan telepon genggam tergolek di samping tubuh suaminya yang amat sangat dicintainya itu.
***
"Bagaimana keadaan suami saya Dok?"
"Pak Fathi terkena serangan stroke Buk, kolesterol Bapak Fathi tinggi sangat. Apa sebelum ini tadi Pak Fathi sempat makan makanan yang mengandung kolestrol?
"Iya Pak Dokter, saya memang sengaja masak ati ampela ayam hari ini. Karena memang suami saya ingin dimasakin itu tadi pagi."
"Itu dia Buk, ati ampela ayam mengandung kolesterol yang cukup tinggi. Itu yang membuat Pak Fathi kolaps."
"Tapi Pak Dokter, suami saya sudah lama sekali tidak makan makanan yang mengandung kolestrol. Pikir saya kolesterol suami saya sudah tidak mungkin kambuh lagi."
"Mungkin Pak Fathi pernah makan makanan yang mengandung kolesterol tanpa sepengathuan Ibuk. Selepas ini saya pesan supaya Pak Fathi benar-benar diperhatikan makanannya ya Buk. Terutama makanan-makanan yang mengandung kolesterol tinggi. Seperti ati ampela ayam dll."
"Iya Pak Dokter, saya kaget tiba-tiba suami saya pingsan di ruang tengah ketika hendak mengangkat telepon dari rekan bisnisnya."
Tepat satu tahun yang lalu, bebarengan dengan lahirnya virus covid-19. Kolesterol turut lahir pula dalam aliran darah Pak Fathi. Sedari itu Bu Indy selalu mengingatkan Pak Fathi untuk tidak memakan makanan apapun yang mengandung kolesterol. Tapi siapa yang tahu, siang hari ketika istirahat kerja di kantornya. Tentu tanpa sepengetahuan Bu Indy, Pak Fathi selalu makan siang ati ampela ayam di depot langganan dekat kantornya.
Pagi tadi Pak Fathi minta dimasakin ati ampela ayam, hampir setiap hari permintaan itu. Namun Bu Indy tak pernah mengiyakan. Namun tiga bulan terakhir hasil cek up darah Pak Fathi terkesan membaik, tentu semua itu dengan rekayasa Pak Fathi. Lantaran hasil cek up itu Bu Indy mengiyakan permintaan suami kesayangannya itu tadi pagi.
Kesedihah Bu Indy berlarut-larut lantaran Pak Fathi tak kunjung sadar. Kolesterol Pak Fathi yang terus menerus ditabung saban hari, saban siang makan di depot dekat kantornya itu. Kini hiperkolesterolmia itu mendatangkan stroke.
Wati tak habis pikir. Selama ini kedua orang tuanya menyembunyikan perihal riwayat kolesterol itu. Mungkin Pak Fathi dan Bu Indy tak ingin membuat Wati khawatir, lantas mengganggu kuliahnya.
***
Satu minggu sudah Pak Fathi terbujur di ranjang rumah sakit. Hasil pemeriksanaan tak menunjukkan tanda-tanda yang membaik, bahkan semakin hari kian memburuk.
Malam itu Bu Indy menyuruh Wati dan Genta pulang kerumah. Bu Indy meminta Wati untuk mengantar Genta mengambil tugas di sekolahan esok hari.
Sayup-sayup adzan terdengar dari masjid-masjid sekitar rumah sakit. Bu Indy bergegas mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat isya. Pak Fathi tak kunjung sadar.
Air mata mengalir anak sungai di pipi Bu Indy. Dia tak bisa menahan kesedihan ketika menengadahkan kepala, berdoa kepada tuhan yang maha kuasa. Benar saja, kekhusyukan Bu Indy tersentak lantaran dia mendengar suara lirih Pak Fathi memanggilnya ;
"Ma, Wati sama Genta mana?"
"Alhamdulillah Ayah udah sadar? Ayah jangan banyak gerak dulu, jangan banyak bicara".
"Ayah pengen makan ati ampela ayam ma".
Seketika jantung Bu Indy berdegup kencang, matanya terbelalak. Mengingat kejadian terakhir kali suaminya makan ati ampela ayam yang membuat suaminya itu terkena stroke.
Dengan hati-hati Bu Indy menjawab, "Ayah belom boleh makan ati ampela ayam dulu ya, nanti kalau udah sembuh. Ayah udah dibolehin pulang ke rumah baru nanti tak masakin ati ampela ayam favorit Ayah".
Kalimat itu jelas untuk membesarkan hati Pak Fathi.
"Ini permintaan terakhir Ayah Ma" lirih suara Pak Fathi selaras dengan satu bulir air mata yang merekah di pelupuk pipinya.
Bu Indy tersentak mendengar kalimat suami yang sangat dicintainya itu. Beberapa detik Bu Indy mematung seraya detak jantungnya berdetak kencang.
"Yah, kata Pak Dokter Ayah belom boleh makan ati ampela ayam dulu. Kolesterol Ayah tinggi. Mama janji nanti kalau Ayah sudah dibolehin pulang sama Pak Dokter Mama pasti masakin ati ampela ayam favorit Ayah."
"Ayah mohon Ma, napas Ayah udah gk bakalan lama lagi".
Kini Bu Indy dihadapkan kepada dua pilihan yang amat getir. Antara menuruti kemauan suaminya dan mengikuti anjuran Dokter yang mewanti-wanti Pak Fathi untuk tidak memakan makanan yang mengandung kolesterol. Terlebih lagi keadaan Pak Fathi yang baru siuman setelah satu minggu tak sadarkan diri.
"Ma, Ayah mohon ini permintaan terakhir Ayah".
Bu Indy kacau, parau. Ia berlari muntab. Air matanya berjatuhan, membekas di setiap kubin keramik koridor rumah sakit. Para karyawan terlihat bingung melihat Bu Indy yang berlari sambil menangis tersedu sedan. Bu Indy membeli satu bungkus ati ampela ayam di warung depan rumah sakit.
"Ati ampela ayam ada kang?"
"Ada buk, Ibuk kenapa menangis sesenggukan begitu?"
"Satu bungkus pak, permintaan terakhir suami saya" mata Bu Indy bengap.
Bu Indy kembali berlari sekencang-kencangnya tak menghiraukan karyawan rumah sakit yang heran melihatnya. Napas Pak Fathi tersengal-sengal ketika Bu Indy masuk ke dalam ruangan itu.
"Yah ini ati ampela ayam nya"
"Makasih ya Ma, Mama ada disaat-saat terakhir Ayah. Bahkan menuruti permintaan terakhir Ayah."
Napas bu Indy tersedak beriringan dengan setiap kecap Pak Fathi memakan ati ampela ayam yang dibelinya dari warung depan itu.
Sesaat setelah Pak Fathi menghabiskan satu potong ati ampela ayam, Pak Fathi menghembuskan napas terakhirnya. Menutup matanya dan tidak akan terbuka lagi selamanya. Mulutnya tersenyum, Pak Fathi pergi dengan tenang.
Bu Indy menangis meledak-ledak. Kini ia dihantui dengan dua perasaan tak karuan. Perasaan lapang karena telah menuruti permintaan terakhir suaminya dan perasaan bersalah karena telah melakukan kesalahan memberikan suaminya ati ampela ayam dan membuat suami yang teramat dicintainya itu menghembuskan napas untuk yang terakhir kalinya.
Banyuwangi, 31 Januari 2021
Komentar cerpen kak @Rudin
BalasHapusKomentar dari Icha p7
Ceritanya ringan dan singkat. Memiliki alur maju. Namun, ada beberapa yang kunanti tapi nggak muncul. Jadi, kesannya cerita ini belumlah lengkap.
Bahasanya sangat sederhana, jadi mudah dipahami dan dinikmati.
Seandainya cerpen ini lebih detail, pasti bagus.
Sekian kak. Maaf kalau ada salah kata
Komentar dari Kang Rumadi p7
BalasHapusKomen untuk rudin.
Di awal cerita berjalan sangat lambat? Kenapa? Karena terlalu banyak adegan basa-basi. Dialog yang tak perlu. Dialog dalam karya fiksi berfungsi untuk menguatkan karakter, bukan untuk berbasa-basi.
Kemudian di awal dominan gaya penceritaan telling. Sangat nggak asik dan membosankan. Penceritaan yang menyentuh ada di akhir cerita.
Endingnya cukup menohok. Tetapi ada yang perlu digarisbawahi, semudah itukah membawa seseorang yang sakit ke rumah sakit di masa pandemi? Tentu akan lebih dramatis jika diceritakan bagaimana susahnya masuk rumah sakit di masa pandemi.
Demikian
@Rudin
Komentar Shasa p7
BalasHapusAti Ampela Ayam Favorit Ayah
#komentarshasa
Hallo, @Rudin
Aku izin mengomentari cerpenmu yaaa.
Wah. Cerpen ini udah mengalami peningkatan ketimbang sebelumnya.
Hanya saja aku memiliki beberapa catatan kecil.
Aku paham, bahwa bulan lalu kamu mengejar deadline makanya cerpen ini sedikit berantakan.
Namun tetap saja, aku ingatkan lagi untuk memperbaiki perihal pengetikan yang tidak rapi, tidak baku, dan tidak sesuai kaidah bahasa.
Kesalahan penggunaan tanda titik dan koma, begitu pula dengan penggunaan huruf kapital.
Dan ada beberapa kalimat yang kurang efektif dan maknanya jadi hilang.
"Dulu mereka menikah lantaran orangtua mereka."
Harusnya di sini dilanjutkan sebab pernikahannya karena menggunakan kata lantaran. Ga bisa plek mati adi tempat. Kalimatnya jadi gantung. Ga jelas.
"Air ludah terasa campak."
Mungkin maksud campak di sini terasa pahit ya? Aku kurang paham. Kalau terasa tawar ya memang saliva berasa tawar. Campak setahuku itu penyakit atau pun sesuatu yang ditelantarkan.
Cerita ini terlalu banyak latar, sedangkan setiap latar tak dibangun dengan kuat.
Harusnya pilih beberapa latar penting dan ceritakan dengan detail sehinga latar tempatnya tak berlalu begitu saja.
Sedikit terburu-buru di bagian akhir cerita, ya mungkin efek kejar deadline.
Namun alih-alih dramatis, aku malah merasa lucu. Hehe
Mengapa istrinya begitu saja memberikan ati ampela. Mana bisa-bisanya di kantin RS ada jual itu. Hehe
Endingnya sedikit memaksakan.
Namun untuk segi tema, kamu sudah berhasil membawakan tema bulan ini dengan cukup buat.
Terimakasih untuk cerpennya.
Sekian dariku.
Semoga berkenan. 🌻
Komen Dinda p7
BalasHapusHalo, Kak Rudin. Ketemu lagi ya, hehe. Izin komentari cerpenmu.
#komendinda
Aku senang kak Rudin menulid lagi. Hihi. Menurutku ada beberapa kemajuan dari cerpen sebelumnya, mungkin penggambaran suasananya di beberapa sudah bagus.
Aku mau komentari bentuk cerpennya, kalaupun ini menggunakan sudut pandang orang ketiga, adanya narator tetapi menurutku lebih baik jika menceritakan tokohnya tuh gak tell: bagian penceritaan anak2nya. Lebih baik ditunjukkan saja. Sebenarnya dengan mereka berada di rumah itupun itu sudah menunjukkan kalau mereka tuh anak dari ibu dan ayah itu.
Terus alur yang maju terus tuh akan membosankan pembaca, sebenarnya juga di cerpen ini ada bagian yang nunjukin flasback tentang kenapa si ayah sakit gitukan. Harusnya dikembangin lagi. Dan penggamabran latar menurutku terlalu banyak ya mobil-jalan-rumah-tempat makan-ruang tengah-rumah sakit-kantin rumah sakit. Itutuh banyak dan seharusnya bisa lebih didetailkan. Coba disederhanakan lagi. Jadinya tidak tergambar. Dan masih ada beberapa ejaan yang masih salah dan ada juga beberapa yang typo.
Sekian. Mohon maaf jika kurang berkenan. Dan maaf juga ya kalo komenku salah2. Terima kasih cerpennya
@Rudin
Komentar Putri Briliany p7
BalasHapus@Rudin
halo, cerpen dengan konflik yang dilematis dan relevan dengan kehidupan nyata :( makanan yang enak-enak sayangnya seringkali mendatangkan penyakit jika dikonsumsi dalam jangka panjang. secara penceritaan, cerpen ini cukup mengalir dan bisa dinikmati. sayangnya menurutku terlalu agak terburu-buru di bagian akhir. mengapa si ibu tidak mencoba berkonsultasi dengan dokter dulu tentang permintaan terakhir pak fathi? bagaimana si ibu bisa tahu kalau kondisi pak fathi benar-benar di ujung maut, sehingga mau tak mau ia harus memenuhi permintaan terakhirnya? kurasa di titik kritis ini bisa digali lagi untuk menambah ketegangan dan kompleksitas cerita.
itu komentar dariku ya, semoga berkenan dan semangat berkarya :)
@Rudin
BalasHapusSalam.
Cerpen yang singkat. Semua berjalan normal sebagaimana perjalanan hidup seorang manusia biasa. Hm. Apa ya, di awal cerpenmu seperti memaksa, pengin diindahin, tapi ga konsis sampe akhir.
Tokoh Genta dan Wati, yang niatnya ingin jadi bumbu dan dramatisir, malah jadi AFK. Ga jadi apa apa.
Dan ya ini cukup menyentuh empati, walau emang kenapa bisa semudah itu cerpenmu menggambarkan keadaan si ayah? Kaya, dia ingin ini untuk akhirnya, dan udah yaudah turutin. Gak ada pergolakan yg asik untuk diikuti.
Yaudah mungkin itu aja, terima kasih!
Komen Ihya p7
Komentar Khafi p7
BalasHapus@Rudin izin berkomentar ya.
Cerpen yang sederhana dan ringan.
Namun, aku menemukan beberapa catatan.
1. Narasi suasana pembuka cerpen terlalu biasa.
2. Permasalahan dialog.
Nampaknya terlalu terburu" atau dialog hanya untuk memperpanjang cerpen.
Selebihnya menarik.
Terima kasih banyak sebelumnya 🙏